Kamis, 23 Juni 2016

Away from Me


Part. 1

Sepuluh tahun sudah kujalani hidup dengan penuh kehampaan. Tidak ada kebahagiaan, mati rasa dan segalanya terasa begitu hambar. Aku berusaha melupakannya, menghapus bayangnya dari hidup dan benakku, namun berkali-kali aku mencoba, aku pasti gagal. Mereka benar, aku memang terlalu mencintainya, amat sangat mencintainya. Sekali pun sudah disakiti ribuan kali, hati ini selalu dan akan tetap memujanya. Aku ingin terus mencintanya, tetapi sadarku kini semuanya telah berubah. Dia pergi begitu kejamnya meninggalkanku tanpa alasan, tanpa penjelasan, hingga akhirnya aku tahu bahwa aku harus memaksakan diri untuk melupakan segala tentangnya, tentang kami, tentang cerita antara aku dan dirinya bertahun-tahun lamanya. 

Dua tahun belakangan ini, aku mulai mengalami yang namanya mati rasa dengan seorang yang dinamakan wanita. Sekali pun dia rela berkorban untukku, tidak peduli aku, tidak peduli. Kekecewaanku pada masa lalu yang tak bisa kuobati membuat penyakit mata rasa itu akhirnya terjangkit olehku. Aku tak memiliki hasrat untuk mengobatinya, aku tak ingin lagi kecewa untuk kedua kalinya. Cukup sekali dan itu sudah membuatku terasa sangat hancur, hancur hingga puing-puing kecil yang tak bermakna. Aku lelah sakit hati.

Semenjak kejadian itu, aku memutuskan untuk mengabadikan seluruh hidupku hanya untuk bekerja. Uang bukan motivasi terbesarku saat membuat keputusan itu. Aku hanya merasa lebih bahagia saat bertatap mesra dengan layar-layar monitor itu selama berjam-jam, jariku tak jemu menari-menari di atas keyboard-keyboard yang sebenarnya sangat menyebalkan itu, tubuhku rasanya begitu sehat setiap kali aku bekerja, belum lagi banyak tantangan besar yang harus kulewati hanya untuk mendapatkan uang berpuluh-puluh miliyar itu. Terkadang aku menertawakan diriku sendiri, menertawakan diriku yang rela mati-matian mengorbankan segalanya hanya demi sesuatu yang bahkan tak mampu menghilangkan kekecewaanku. Hah, ya sudahlah, mungkin hidup demikian adanya. Aku hanya perlu menjalaninya saja. 

Hari ini, aku dan Riko sedang sibuk membahas suatu proyek yang harus kami menangkan. Senang selalu bisa bekerja sama dengannya. Riko merupakan rekan kerja yang paling mengerti segalanya tentangku. Namun entah mengapa hari ini ia terasa sangat menyebalkan.

"Ayolah, dua belas tahun sudah kamu hidup sendiri. Apa tidak terpikirkan tentang suatu pernikahan?" celetuk Riko blak-blakan

"Aku sudah melupakan yang namanya cinta sejak dua belas tahun yang lalu. Lagi pula kau tahu sendirikan, aku ini seorang pria yang lebih senang menghabiskan waktu bersama monitor-monitor segi panjang ini. Mana sempat aku buang-buang waktu cuma buat mesra-mesraan di ranjang!" jawabku santai

"Wah..., kau memang benar-benar sudah gila!" Riko menggeleng-gelengkan kepalanya

Aku hanya tersenyum dan fokus ke layar.

"Heh, kau itu harus sadar kalau hidup itu terus berjalan, yang lama pergi kemudian datanglah yang baru. Orang-orang dunia ini pula lebih memilih untuk banyak melakukan perubahan. Kau itu malah berpikir sebaliknya,  hanya ditinggalkan seorang wanita, terus kau hanya ingin hidupmu berhenti di situ-situ aja? Apa tidak terpikir olehmu tentang suatu perubahan?" Riko mencoba memberiku pencerahan lagi dan lagi

Aku menghentikan aktivitasku. Tangan-tanganku yang sedari tadi terus menari di atas keyboard, mendadak berhenti, "Cukup, Rik. Aku sudah tidak ingin membahas soal cinta lagi!" tegasku menatapnya tajam

"Aku hanya ingin kamu mengubah hidupmu." jawab Riko menegaskan

"Hidupku sudah berubah!" jawabku dengan nada tinggi

Riko terdiam. 

"Hidupku sudah berubah ketika wanita itu pergi begitu saja meninggalkanku. Dia..."

Aku mencoba menahan emosiku yang nyaris meledak. Kepejamkan sejenak mataku sambil menghela napas panjang. "Dia, dia yang memaksaku untuk hidup seperti ini. Dia yang membuat aku begini." sambungku tanpa melihat Riko

"You are wrong." 

Aku mulai muak membahas hal ini. "Seandainya kamu mengerti, betapa hancurnya hati ini menanti setiap hari, mungkin kamu akan mengatakan hal yang sama denganku!"

"Cinta itu memaafkan Wisnu, memaafkan." ujar Riko 

"Aku sudah memaafkan dia, tetapi aku tidak pernah bisa memaafkan tindakannya ketika pergi dari hidupku, meninggalkanku begitu saja, tidak akan pernah bisa!" aku pun memilih pergi meninggalkannya

"Wisnu!! Wisnu!!" Riko berteriak memanggilku

Aku tak ingin mendengarkannya saat ini. Terlalu menyebalkan mendengarkan kisah itu kembali terangkat. Aku sudah mengubur itu dalam-dalam. Akibat jalan tanpa melihat ke depan, tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang ada di hadapanku.

"Upss!! Maaf, maafkan aku." 

Aku hanya diam lalu melihat ke arah wanita itu

"Apa?!" ucapku setengah terkejut setengah tidak percaya

Aku pun memilih segera pergi dari tempat itu. 

"Tunggu!" teriak wanita itu

Aku tetap berjalan tanpa peduli. Wanita itu pun mengejarku. 

"Wisnu, please, please!! Aku harus bicara sama kamu." teriak wanita itu padaku

Aku terus berjalan dengan cepat. Wanita itu pun semakin kewalahan.

"Wisnuu!!" teriaknya lagi, "Aku ke sini, untuk meminta maaf padamu." sambung wanita itu.

Langkahku terhenti. Mendadak aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri, emosiku sudah ingin meledak rasanya, kedua tanganku mengepal, rahang-rahangku mengatup begitu kuat, mataku berkaca-kaca, buliran air mata sudah terproduksi dan siap jatuh.

"Maafkan aku Wisnu, tolong." ucapnya memohon

Aku berbalik. Kedua mataku menatapnya begitu tajam, "Lihatlah, tahukah engkau sudah berapa liter atau desimeter kubik air mata yang aku teteskan hanya untuk menangisi kepergianmu, menyalahkan ketidakmampuan diriku sendiri? Tidakkah engkau memahami itu?" cibirku terus terang

"Sekarang begitu mudahnya kamu datang lalu meminta maaf kepadaku?" lanjutku belum selesai

Dia berjalan menghampiriku. Aku dan dirinya saling berhadapan tanpa jarak yang berarti. Kami saling menatap satu sama lain.

"Kamu harus tahu semua alasannya. Alasan mengapa aku pergi meninggalkan kamu. Kamu harus mengetahuinya." ucapnya dengan tegas


To be continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar